BAB I
PENDAHULUAN
Masih berminat untuk menjadi pejabat publik sebangsa Walikota, Bupati, Gubernur, Menteri, atau bahkan Presiden dan sebagainya? Mungkin Anda perlu berpikir matang-matang, terutama di saat media sosial makin marak dalam tempo tidak lama lagi. Ketika masa itu tiba, Anda, para pejabat publik, akan semakin gerah dan lebih sering merasa ”ditelanjangi” karena apapun kebijakan yang digariskan akan dikupas habis-habisan secara langsung oleh masyarakat.
Perkembangan media sosial (social media) di jagat maya yang kian menjadi-jadi itu akan mendampingi—atau bahkan melampaui kemampuan—media massa yang sudah eksis selama ini. Fenomena ini menandai sebuah era perubahan besar yang bukan tidak mungkin akan mengubah berbagai peta dunia, baik dari sisi demografi, ekonomi, sosial, bahkan politik.
Betapa tidak. Perkembangan media sosial kini jauh lebih pesat seiring dengan penetrasi peranti komunikasi bergerak, ketersediaan jaringan komunikasi yang lebih berkualitas dan makin terjangkaunya biaya komunikasi itu sendiri. Lihat saja beberapa fenomena penyuaraan kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah secara terang-terangan di beberapa media sosial populer seperti Facebook dan Twitter. Media sosial membuat kita hidup di jaman yang penuh dengan transparansi. Aktivitas kita dengan mudah dapat diketahui oleh orang lain, bahkan diketahui seluruh dunia, ketika kita menuliskan status kita di Facebook atau nge-tweet melalui Twitter.
Jika dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa menyampaikan pendapat secara terbuka karena satu dan lain hal, maka tidak jika kita menggunakan media sosial. Kita bisa menulis apa saja yang kita mau atau kita bebas mengomentari apapun yang ditulis atau disajikan orang lain. Ini berarti komunikasi terjalin dua arah. Komunikasi ini kemudian menciptakan komunitas dengan cepat karena ada ketertarikan yang sama akan suatu hal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN MEDIA SOSIAL
Media sosial adalah sebuah media online dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, sosial network atau jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki mungkin merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Media sosial adalah media untuk interaksi sosial , menggunakan dan scalable teknik komunikasi yang sangat diakses. Media sosial adalah penggunaan teknologi berbasis web dan mobile untuk mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif.
Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "kelompok berbasis aplikasi Internet yang membangun dan teknologi dasar-dasar ideologis dari Web 2.0 , yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran -konten yang dihasilkan pengguna ."Bisnis juga dapat merujuk ke media sosial sebagai media yang dihasilkan konsumen (CGM). Sebuah thread umum berjalan melalui semua definisi media sosial merupakan perpaduan teknologi dan interaksi sosial bagi penciptaan co-nilai.
Menurut Antony Mayfield dari iCrossing, media sosial adalah mengenai menjadi manusia biasa. Manusia biasa yang saling membagi ide, bekerjasama, dan berkolaborasi untuk menciptakan kreasi, berfikir, berdebat, menemukan orang yang bisa menjadi teman baik, menemukan pasangan, dan membangun sebuah komunitas. Intinya, menggunakan media sosial menjadikan kita sebagai diri sendiri. Selain kecepatan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, menjadi diri sendiri dalam media sosial adalah alasan mengapa media sosial berkembang pesat.
The New York Times pada 2010 menyebutkan media sosial adalah campuran dari alat penyampaian pesan, penguatan jaringan sosial, “microblogging” dan sesuatu yang disebut “presence/kehadiran”. Perubahan perilaku konsumen terhadap media yang digunakannya sudah diprediksi oleh ahli media,Marshall McLuhan, di awal 1960an. Beliau mengatakan bahwa kultur visual dan individualistis dari “cetak” dan “visual” akan digantikan oleh sebuah kultur baru “electronic interdependence”. Media elektronik akan menggantikan kultur visual dengan kultur aura/oral.Masyarakat akan berubah dari individualistis dan terfragmentasi menjadi berkumpul dalam sebuah komunitas “tribal base”.
Organisasi sosial baru ini pada 1964 disebut oleh McLuhan sebagai “global village”. Bagi McLuhan, medium komunikasi merupakan perluasan dari diri sendiri, yang kemudian penjelasan ini semakin konkret dengan menjamurnya media sosial. Di mana, tiap-tiap orang mempunyai medianya sendiri untuk berkomunikasi satu dengan lainnya.
2.2 Perbedaan dari media Industri
Orang memperoleh informasi, pendidikan, berita, dengan media elektronik dan media cetak. Media sosial adalah berbeda dari industri media atau tradisional, seperti koran , televisi , dan film . Mereka adalah relatif murah dan dapat diakses untuk mengaktifkan siapapun (bahkan individu swasta) untuk mempublikasikan atau mengakses informasi, dibandingkan dengan media industri, yang umumnya memerlukan sumber daya yang signifikan untuk mempublikasikan informasi.
Salah satu karakteristik bersama oleh kedua media sosial dan media industri adalah kemampuan untuk menjangkau audiens yang kecil atau besar, misalnya, baik posting blog atau sebuah acara televisi dapat mencapai nol orang atau jutaan orang. Beberapa sifat yang membantu menjelaskan perbedaan antara media sosial dan media industri adalah:
- Reach - baik media industri dan sosial teknologi memberikan skala dan mampu menjangkau khalayak global. Industri media, bagaimanapun, biasanya menggunakan kerangka terpusat untuk organisasi, produksi, dan penyebaran, sedangkan media sosial adalah dengan sifatnya lebih terdesentralisasi, kurang hirarkis, dan dibedakan dengan banyak sudut produksi dan utilitas.
- Aksesibilitas - alat-alat produksi untuk media industri biasanya pemerintah dan / atau swasta; sosial media alat-alat yang umumnya tersedia kepada masyarakat dengan sedikit atau tanpa biaya.
- Usability - industri media produksi biasanya memerlukan keahlian khusus dan pelatihan. Sebaliknya, sebagian besar media sosial produksi tidak memerlukan keahlian khusus dan pelatihan, atau hanya membutuhkan reinterpretasi sederhana keterampilan yang ada, dalam teori, siapapun dengan akses dapat mengoperasikan alat-alat produksi media sosial.
- Kedekatan - jeda waktu antara komunikasi yang dihasilkan oleh industri media bisa panjang (hari, minggu, atau bahkan bulan) dibandingkan dengan media sosial (yang bisa mampu hampir tanggapan sesaat, hanya peserta menentukan keterlambatan dalam respon). Namun, sebagai media industri mulai mengadopsi aspek produksi biasanya berhubungan dengan alat-alat media sosial, fitur ini tidak dapat membuktikan berbeda dari waktu ke waktu.
- Permanen - media industri, sekali diciptakan, tidak dapat diubah (sekali artikel majalah dicetak dan dibagikan perubahan tidak dapat dibuat ke artikel yang sama), sedangkan media sosial dapat diubah hampir seketika oleh komentar atau mengedit.
Komunitas merupakan suatu media yang menarik hibrida media industri dan sosial. Meskipun yang dimiliki masyarakat, beberapa komunitas radio, TV dan surat kabar dijalankan oleh para profesional dan beberapa oleh amatir. Mereka menggunakan kedua media sosial dan industri kerangka kerja.
2.3 Tipologi Pengguna Media Sosial
Dalam penelitiannya, ETNOMARK Consulting memetakan tipe pengguna media sosial berdasarkan motivasi dan tujuan posting dalam “status update”. Insightsmen dalam yang diperoleh dalam studi ini adalah hasil eksplorasi dengan metode netnografi. Netnografi adalah teknik studi etnografi via internet, yang merupakan studi kualitatif kontekstual. Eksplorasi dilakukan melalui ratusan posting dalam Facebook dan Twitter.
Hasil studi menjelaskan adanya tujuh tipe pengguna media sosial.
1. The Angels.
1. The Angels.
Opinion leaders. Senang sharingpengetahuan dan pengalaman. Dosen, pembicara,motivator,ustad,dll.
2. The Learners.
2. The Learners.
Para pembelajar, pengumpul referensi, mencari solusi dari masalah. Mereka juga sering melakukan sharingulang atau Re-tweet/RT.
3. The Journalists.
Tipe pengguna media sosial terdepan dalam penyampaian berita. Berita singkat, tetapi terus menerus.
4. The Social Networkers.
Selalu ingin memperluas network, termasuk memberikan perhatian dengan sharing (atau RT) opini orang lain. Juga memancing diskusi forum
5. The “Eksis-Narsis”.
Senang mencari perhatian, harus hadir dalam setiap bahasan,posting dilengkapi foto-foto. Perhatian lebih kepada “ME”atau dunianya sendiri.
6. The “Curhaters”.
Tipe yang sangat sering impulsif berkeluh kesah terhadap apa saja yang ditemui dan dialaminya. Kadang kala hanya sebagai tulisan iseng yang tidak penting bagi komunitasnya.
7. The Observers.
7. The Observers.
Passive users, tipe pengamat ini mengikuti posting teman-temannya, ingin mengetahui apa yang terjadi, tetapi jarang respons dan share opini temannya. Hampir tidak ada posting yang ditulisnya. Implikasi dari segmentasi di atas adalah bagi pemilik brand untuk lebih selektif dalam menentukan target audience di media sosial.Pembagian kelompok ini tidak mengisyaratkan perbedaan usia,gender,income bahkan hobi sekalipun. Kelompok ini lebih kontekstual homogen dalam interaksi dengan media sosial.
2.4 Media Sosial, Pemasaran, dan "otoritas sosial"
Salah satu komponen kunci dalam pelaksanaan pemasaran media sukses sosial adalah membangun "otoritas sosial". Sosial otoritas dikembangkan ketika sebuah individu atau organisasi menetapkan diri mereka sebagai "ahli" dalam bidang mereka diberikan atau daerah, sehingga menjadi influencer di bidang tersebut atau daerah.
Hal ini melalui proses "membangun otoritas sosial" bahwa media sosial menjadi efektif. Itu sebabnya salah satu konsep mendasar dalam media sosial telah menjadi bahwa Anda tidak bisa sepenuhnya mengendalikan pesan Anda melalui media sosial tetapi Anda hanya dapat mulai untuk berpartisipasi dalam "percakapan" dengan harapan bahwa Anda bisa menjadi pengaruh yang relevan di percakapan.
Namun, partisipasi percakapan harus cerdik dieksekusi karena sementara orang tahan terhadap pemasaran pada umumnya, bahkan mereka lebih tahan terhadap langsung atau terang-terangan pemasaran melalui platform media sosial. Hal ini mungkin tampak kontra-intuitif, tetapi merupakan alasan utama bangunan otoritas sosial dengan kredibilitas sangat penting. Seorang pemasar umumnya tidak dapat mengharapkan orang untuk bisa menerima pesan pemasaran dalam dan dari dirinya sendiri.
Dengan demikian, menggunakan media sosial sebagai bentuk pemasaran telah diambil pada tantangan baru. Hal ini sangat efektif jika upaya pemasaran melalui media sosial berkisar pada bangunan asli otoritas. Seseorang melakukan "pemasaran" peran dalam perusahaan jujur harus meyakinkan masyarakat tentang niat asli mereka, pengetahuan, dan keahlian di bidang tertentu atau industri melalui penyediaan dan informasi akurat yang berharga secara terus menerus tanpa sudut pemasaran terang-terangan terkait. Jika hal ini bisa dilakukan, kepercayaan, dan, penerima informasi yang - dan pesan itu sendiri - mulai berkembang secara alami. Orang atau organisasi yang menjadi pemimpin pemikiran dan penyedia nilai - pengaturan diri mereka sebagai "penasehat" terpercaya bukan pemasar. " Top of mind awareness "mengembangkan dan konsumen secara alami mulai tertarik dengan produk dan / atau penawaran dari kewenangan / influencer.
Tentu saja, ada banyak cara otoritas dapat diciptakan - dan pengaruh dapat dilakukan - termasuk: partisipasi dalam Wikipedia yang sebenarnya memverifikasi-generated content pengguna dan informasi lebih dari kebanyakan orang sadari, menyediakan konten yang berharga melalui jaringan sosial pada platform seperti agar dan Twitter , penulisan artikel dan distribusi melalui situs seperti Ezine Articles dan Scribd , dan menyediakan jawaban berbasis fakta pada "masalah sosial dan situs menjawab" seperti eHow dan Yahoo! Answers .
Sebagai hasil dari media sosial - dan pengaruh langsung atau tidak langsung dari pemasar media sosial - hari ini, konsumen adalah sebagai kemungkinan - atau lebih mungkin - untuk membuat keputusan pembelian berdasarkan apa yang mereka baca dan lihat di platform yang kita sebut "sosial" tapi hanya jika disajikan oleh seseorang yang mereka telah datang untuk percaya. , Laporan menunjukkan organisasi Selain itu telah mampu membawa kembali pelanggan dissastisfied dan stakeholders melalui saluran media sosial. Ini adalah mengapa dan hati-hati dirancang sosial tujuan strategi media telah menjadi bagian integral dari rencana pemasaran yang terarah dan lengkap tapi juga harus dirancang dengan menggunakan lebih baru "otoritas bangunan" teknik.
2.5 Sihir Media Sosial
Hiruk pikuk media sosial di internet membuat sebagian pelaku bisnis gagap. Maka muncullah aneka kesalahpahaman. Ingat pemilu dua tahun lalu? Cerita yang sampai di kuping politisi sini adalah tentang sihir era digital, akibat pesan yang sampai telah tereduksi menjadi "Obama sukses karena internet".
Maka kita sama-sama menyaksikan bagaimana politisi, berikut tim sukses dan agennya, sibuk memainkan media sosial dengan tujuan jangka pendek menambah konstituen, yang diawali dengan menghimpun kerumunan sebesar dan serapat mungkin--tapi hanya sebatas itu.
Sebagian kalangan bisnis? Sama saja. Maunya instan, dengan pendekatan utama "bagaimana menguasai media sosial dan penggunanya".
Beberapa hal yang tak mereka pahami, misalnya:
• Media sosial adalah milik masyarakat. Kalau Facebook dan Twitter tutup, orang akan memilih layanan pengganti.
• Kendali isi maupun interaksi lebih banyak pada pengguna. Yang bisa dilakukan oleh penyedia layanan hanyalah menjaga agar server kuat dan lontaran konten tak melanggar ketentuan layanan yang berpijak pada kenyamanan umat.
• Meskipun pengaruh peer group kadang kuat, pengguna media sosial adalah orang-orang mandiri. Suka atau tak suka terhadap sesuatu--termasuk produk dan merek--adalah hak asasi dan tak harus disertai argumentasi. "Yah, nggak suka aja, emang napa?" adalah aksioma.
Bagaimana memanfaatkan media sosial dan menyapa penggunanya, ada banyak teori. Mungkin setiap pekan teorinya bertambah. Tapi intinya tetap: bagaimana menyapa manusia, bagaimana menempatkan diri. Maka ketika brand besar punya akun di media sosial, tapi belum menjadi bagian dari strategi komunikasinya, itu belum merupakan jaminan bahwa dia dikenal dan diikuti.
Lihat saja akun @cocacola dan @levis di Twitter. Coke (main di Twitter sejak 26 Maret 2009) punya 191.276 pengikut, dan Levi’s Amerika (ikut Twitter sejak 15 Oktober 2010) punya 249 pengikut--tentu jumlah ini terus bertambah. Bandingkanlah dengan @sherinamunaf (sejak 21 April 2009) yang punya 854.026 pengikut. Bandingkan juga dengan si mbakyu ehem-ehem ini: @KimKadarshian (sejak kapan?) dengan 6 juta pengikut. Atau sinyo imut @justinbieber (sejak 28 Maret 2009) yang punya 6,8 juta pengikut.
Tentu, brand besar bisa punya akun khusus untuk kepentingan komunikasinya, misalnya kampanye. Lihat saja @MyMagnumID dari Wall's (Unilever) yang punya 4.774 pengikut. Dalam bisnis, dan terutama kampanye, urusannya bukan sekadar jumlah pengikut di internet. Semuanya terpulang kepada perencanaan komunikasi.
2.6 Media Sosial Pengaruhi Kepuasan Pengguna
Tingkat kepuasaan seorang pelanggan ponsel yang memiliki fitur media sosial di dalamnya, seperti Facebook dan Twitter, lebih tinggi dibandingkan pemilik ponsel yang tidak dapat mengakses platform media sosial. Demikian temuan JD Power and Associates.
Menurut studi tersebut, pengguna smartphone yang mengakses situs media sosial seperti Twitter, LinkedIn, dan Facebook melalui ponsel mereka, ditemukan tingkat kepuasan sebesar 783 pada skala 1.000. Tingkat kepuasan ini berselisih 22 poin lebih besar dibandingkan pemilik smartphone yang jarang membuka media sosial di ponsel.
Saat ini, lebih dari setengah pemilik smartphone memakai perangkat mereka untuk mengakses situs media sosial melalui aplikasi Web atau versi aplikasi mobile. Kendati frekuensi akses ke media sosial oleh pengguna ponsel tradisional tidak sesering pengguna smartphone, namun kepuasan pengguna ponsel tradisional yang memiliki akses ke situs media sosial lebih tinggi dibandingkan pengguna ponsel yang tidak memiliki akses ke situs media sosial. Skalanya adalah 754 banding 696. Bukan suatu kabar yang mengejutkan jika pemilik smartphone lebih kerap mengakses situs media sosial dari ponsel dibandingkan pengguna ponsel tradisional karena fitur yang dimilikinya, seperti layar lebar dan keyboard QWERTY.
Studi yang sama menunjukkan bahwa pengguna ponsel yang sering mengakses aktivitas media sosial juga cenderung lebih sering menggunakan layanan suara, teks (SMS), dan data. Mereka juga cenderung untuk menikmati layanan nilai tambah di masa depan, dan bisa memberikan rekomendasi positif tentang jenis ponsel dan operator pada orang-orang di sekitarnya, dibandingkan mereka yang tidak menggunakan media sosial via ponsel.
Begitu jelas kesenjangan tingkat kepuasan antara pelanggan yang menikmati media sosial di ponsel dan yang tidak mempunyai karena beberapa faktor. Namun, poin yang sangat penting adalah pengguna ponsel yang memiliki akses jejaring sosial relatif lebih kaya wawasan dan pengalaman positif terhadap ponselnya sendiri.
Media sosial membuat kita hidup di jaman yang penuh dengan transparansi. Aktivitas kita dengan mudah dapat diketahui oleh orang lain, bahkan diketahui seluruh dunia, ketika kita menuliskan status kita di Facebook atau nge-tweet melalui Twitter. Apakah hal ini membawa dampak bagi kepribadian kita?
Dua Perilaku yang Berkembang Akibat Media Sosial
Menurut Erik Qualman dalam Socialnomics (2009), transparansi membuat adanya dua kubu perilaku orang di alam media sosial: preventative behavior dan braggadocian behavior. Secara singkat, kedua hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Preventative behavior – Qualman menjelaskannya dengan perumpamaan “live your life as if your mother is watching”. Tipe orang ini selalu berhati-hati dalam mem-post status, meng-upload gambar, atau nge-tweet karena hal tersebut diketahui oleh orang lain dan dapat mempengaruhi citra mereka. Mereka akan berpikir berulang kali untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan media sosial karena seluruh dunia memperhatikan (termasuk mungkin ibu mereka yang sebenarnya).
Braggadocian behavior – berasal dari kata braggart yang berarti pembual atau penyombong. Tipe orang dengan perilaku berikut ini biasanya update status atau nge-tweet sangat sering dan memberitahukan bahwa dirinya sedang melakukan sesuatu yang dianggap keren. Biasanya, orang-orang ini juga sering meng-upload foto mereka dengan gaya narsis di tempat-tempat yang menurut mereka cool abis. Mereka menganggap bahwa dengan begitu mereka eksis.
Dalam buku tersebut, Qualman juga menjelaskan bahwa dengan adanya media sosial, maka kematian social schizophrenia akan segera tiba. Social schizophrenia yang dimaksud oleh Qualman adalah ketika seseorang berperilaku berbeda tergantung setting di mana ia berada – contohnya adalah menjadi orang yang rajin dan tekun di kantor, tapi pemalas di rumah sendiri; banyak bicara dan beringasan ketika bertemu dengan teman-teman kuliah, tapi pendiam dan sopan sekali ketika di depan teman kantor.
Qualman berpendapat bahwa dengan adanya media sosial, seseorang tidak dapat lagi berpura-pura menjadi orang lain dan memiliki kepribadian berbeda di tempat berbeda. Status-status dan tweet-tweet yang ada akan menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.
Namun pendapat Qualman bahwa kematian social schizophrenia sudah dekat sebenarnya tidak 100% tepat. Justru jika kita mencermati fenomena media sosial baik-baik, ada kemungkinan perpecahan kepribadian (split personality) semakin tajam terjadi.
The Rise of Social-Splitting Personality
Pernahkan Anda mendengar ada orang yang sehari-harinya kelihatan pendiam tapi tulisan di blognya sangat keras mengkritik sesuatu dan “suara”nya terdengar tajam? Atau orang yang biasanya tidak pernah bicara tapi statusnya banyak sekali dan jika diajak chat sangat menyenangkan? Mereka inilah pelaku-pelaku yang dapat kita sebut mengalami perpecahan kepribadian di media sosial (social-splitting personality).
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai fenomena orang-orang yang sedang mencitrakan ulang dirinya melalui dunia kedua, yaitu media sosial. Dan dari sanalah timbul perpecahan-perpecahan kepribadian karena ingin menciptakan citra berbeda melalui media lain. Mereka karena suatu hal gagal mencitrakan diri yang mereka inginkan di dunia nyata, akibatnya, dunia maya melalui medium media sosial menjadi pelampiasan mereka.
Teori Kepribadian Carl Rogers dan Social-Splitting Personality
Rogers mengemukakan bahwa ada dua diri (self) dalam seseorang, yaitu real-self dan ideal-self. Real-self dapat dijelaskan sebagai diri yang terbentuk dari dorongan untuk mengaktualisasikan diri, sedangkan ideal-self adalah diri yang terbentuk dari tuntutan-tuntutan masyarakat. Secara sederhana, real-self adalah “I am” dan ideal-self adalah “I should“; jarak yang terlalu jauh antara ”I am” dan ”I should” dapat menyebabkan psikopatologi (gangguan jiwa).
Persis seperti itulah fenomena social-splitting personality terjadi. Seseorang yang tidak dapat menampilkan real-self mereka karena banyaknya tuntutan lingkungan akan melampiaskannya pada media sosial dan menjadi berbeda di alam maya.
2.7 dampak positif dan negatif new media pada sosial budaya bangsa
Dampak Positif
Perkembangan new media akhir-akhir ini semakin berkembang pesat. Perkembangan media baru akan membawa suatu pola pikir, sikap dan tindakan / prilaku bagi setiap individu yang paling tidak akan membawa individu ke dalam pola hidup yang serba instan tapi lebih efektif. Perkembangan new media akan membawa dampak positif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dimana new media sebagai sebuah aset dalam hal revolusi teknologi komunikasi dan informasi, maka dampak positif dapat berupa:
· Kemajuan dalam pengolahan informasi dapat memperluas daya bakat dan kemampuan manusia (human talent).
· Sistem-sistem yang baru akan menjamin kenyamanan pribadi yang lebih besar pada individu.
· Masyarakat akan menulis lebih baik, lebih cepat, menyimpan dan berhubungan dengan ide secara lebih baik.
· Individu akan menikmati bukan sekedar effisiensi yang lebih tinggi dalam melakukan tugas harian, tapi interaksi yang lebih besar dengan orang dan kepentingan yang lain, jadi merangsang kreatifitas dan partisipasi pribadi.
· Pendidikan dapat dibuat lebih demokratis: metoda mengajar dengan menggunakan computer akan bersifat responsive kepada individu, kepada kebutuhan dan gaya belajar siswa tertentu.
· Karakteristik sebagian besar dari penanganan informasi saat ini yang membosankan akan dapat disembuhkan.
· Computer akan membuat sistem informasi yang saat sekarang masih incompatible menjadi compatible.
Dampak Negatif
Perkembangan new media tidak hanya membawa dampak positif tapi juga membawa dampak negatif bagi para penggunanya yang tidak memanfaatkan beberapa jejaring dengan baik. Mereka menganggap pesatnya pekembangan media baru sebagai salah satu faktor yang dapat mengakibatkan perbenturan budaya. Di satu pihak, media baru dapat membuka cakrawala dunia yang sangat menjanjikan yang kaya warna, kaya nuansa, kaya citra, namun disisi lain ini akan menjadi sebuah dunia yang seakan-akan tanpa kendali. Dampak pesatnya media baru paling tidak akan membawa beberapa dampak perubahan negatif seperti:
- Membudayanya budaya massa dalam suatu komunitas masyarakat, dimana pola kehidupan yang dinamis ditimbulkan karena adanya keinginan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Rasa sosial terhadap lingkungan sekitar menjadi acuh.
- Terjadinya polusi informasi.
- Merebaknya kejahatan teknologi seperti pelanggaran hak cipta / pembajakan, cybercrime (kejahatan maya).
- Tumbuhnya sikap hedonisme dan konsumtif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar